Bagi Natsir, agama (baca: Islam) tidak dapat dipisahkan dari negara. Ia menganggap bahwa urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral risalah Islam. Dinyatakannya pula bahwa kaum muslimin mempunyai falsafah hidup atau idiologi seperti kalangan Kristen, fasis, atau Komunis. Natsir lalu mengutip nas Alquran yang dianggap sebagai dasar ideologi Islam (yang artinya), “Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada-Ku.” (51: 56). Bertitik tolak dari dasar idiologi Islam ini, ia berkesimpulan bahwa cita-cita hidup seorang Muslim di dunia ini hanyalah ingin menjadi hamba Allah agar mencapai kejayaan dunia dan akhirat kelak. (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 436).
Untuk mencapai predikat “hamba Allah” tersebut, Allah memberikan aturan kepada manusia. “Aturan atau cara kita berlaku berhubungan dengan Tuhan yang menjadikan kita dan cara kita yang berlaku berhubungan dengan sesama manusia. Di antara aturan-aturan dan cara kita yang berlaku berhubungan dengan sesama manusia. Di antara aturan-aturan yang berhubungan dengan muamalah sesama makhluk itu, ada diberikan garis-garis besarnya seseorang terhadap masyarakat, dan hak serta kewajipan masyarakat terhadap diri seseorang. Yang akhir ini tak lebih-tak kurang, ialah yang dinamakan orang sekarang dengan urusan kenegaraan.” (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 436).
Menurut Natsir, ketidakfahaman terhadap negara Islam, negara yang menyatukan agama dan politik, pada dasarnya bersumber dari kekeliruan memahami gambaran pemerintahan Islam. “Kalau kita terangkan, bahwa agama dan negara harus bersatu, maka terbayang sudah di mata seorang bahlul (bloody fool) duduk di atas singgahsana, dikelilingi oleh “haremnya” menonton tari “dayang-dayang”. Terbayang olehnya yang duduk mengepalai “kementerian kerajaan”, beberapa orang tua bangka memegang hoga. Sebab memang beginilah gambaran ‘pemerintahan Islam’ yang digambarkan dalam kitab-kitab Eropa yang mereka baca dan diterangkan oleh guru-guru bangsa barat selama ini. Sebab umumnya (kecuali amat sedikit) bagi orang Eropa: Chalifah = Harem; Islam = poligami.” (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 438).
Natsir berkata bahwa bila ingin memahami agama dan negara dalam Islam secara jernih, hendaknya kita mampu menghapuskan gambaran keliru tentang negara Islam di atas. Secara implisit Natsir menilai bahwa gambaran “negara Islam” seperti inilah yang terdapat dalam pandangan Soekarno maupun Kemal.
Turki pada masa pemerintahan para sultan dan kekhalifahan Usmaniyah terakhir bukanlah negara atau pemerintahan Islam, sebab para pemimpinnya menindas dan membiarkan rakyatnya bodoh dengan memakai Islam dan segala bentuk ibadah-ibadahnya sebagai tameng belaka.
Jadi, Islam memang tidak pernah bersatu dengan negara sebagaimana diduga Soekarno maupun Kemal.Dengan logika seperti ini, Natsir menilai bahwa sikap mendukung Soekarno terhadap gagasan pemisahan agama dari negara tidak tepat. Kata Natsir lebih lanjut, “Maka sekarang, kalau ada pemerintahan yang zalim yang bobrok seperti yang ada di Turki di zaman Bani Usman itu, bukanlah yang demikian itu, yang kita jadikan contoh bila kita berkata, bahwa agama dan negara haruslah bersatu. Pemerintahan yang semacam itu tidaklah akan dapat diperbaiki dengan “memisahkan agama” daripadanya seperti dikatakan Ir. Soekarno, sebab memang agama, sudah lama terpisah dari negara yang semacam itu.” (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 440).
Natsir menegaskan bahwa negara bukanlah tujuan akhir Islam melainkan hanya alat merealisasikan aturan-aturan Islam yang terdapat dalam Alquran dan sunah. Semua aturan-aturan Islam itu, Natsir menyebutkan di antaranya kewajiban belajar, kewajiban zakat, pemberantasan perzinaan, dan lain-lain, tidak ada artinya manakala tidak ada negara. Negara di sini berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan “kesempurnaan berlakunya undang-undang ilahi, baik yang berkenaan dengan kehidupan manusia sendiri (sebagai individu) ataupun sebagai anggota masyarakat.” (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 442).
Menanggapi pernyataan Soekarno yang menyatakan tidak ada ijma ulama yang memerintahkan membentuk negara, Natsir secara tersirat menilai Soekarno tidak objektif dalam mengemukakan pendapatnya. Sebab, di satu pihak ia menganjurkan agar umat Islam membuang “warisan tradisional” gedachte traditie.
Tetapi, di lain pihak ia sendiri secara sadar mengutip konsep tradisional, bahwa tidak ada ijma tentang persatuan agama dengan negara. Natsir kemudian menyatakan, “Bagaimanakah, kalau andaikata, kita beri keterangan bahwa sesungguhnya ada ijma ulama yang berkata begitu? Apakah Ir. Soekarno akan menerima keputusan ijma ulama itu, ataukah tidak? Atau nanti beliau akan berkataL ‘Ya, itu cuma satu ijma ulama, satu gedachte traditie’, dan bukanlah saya sudah bilang bahwa semua ‘gedachte traditie’ itu harus dilempar jauh-jauh.” (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 434).
Natsir menganggap ijma ulama itu hanyalah pengertian “karet”, satu rekbaar begrip yang tak tentu ujung pangkalnya. Artinya, konsep itu dapat digunakan untuk membenarkan gagasan pemisahan maupun persatuan agama dengan negara. Dengan demikian, menurut Natsir, pengutipan konsep ijma ulama tentang masalah ini oleh Soekarno, hanya mempersulit persoalan. Ada atau tidak ada Islam, menurut Natsir, eksistensi negara merupakan suatu keharusan di dunia ini, di zaman apa pun. “Memang negara tidak perlu disuruh didirikan oleh Rasulullah lagi. Dengan atau tidak dengan Islam, negara memang bisa berdiri dan memang sudah berdiri sebelum dan sesudah Islam, di mana saja ada segolongan manusia yang hidup bersama-sama dalam satu masyarakat.
Di zaman onta, sebagaimana yang munasabah dengan masa itu dan negara di zaman kapal terbang, sebagaimana yang munasabah dengan zaman kapal terbang pula. Tentang ada negara yang teratur, dan ada yang kurang teratur, adalah soal biasa. Tapi bagaimanapun juga, kedua-duanya adalah negara. Dengan atau tidak dengan Islam! (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 442–443).
Dengan pernyataan ini, Natsir bermaksud membantah dan mempertanyakan pandangan Ali Abdur Raziq. Ia ragu bila ulama Al-Azhar itu berpendapat bahwa Nabi hanyalah mendakwahkan agama dan tidak menyuruh mendirikan negara, tetapi sekalipun demikian, hal itu bukan sesuatu yang mengherankan. (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 443, 481–488).
Kemudian, menyinggung soal nama penguasa negara Islam, Natsir tidak bersikeras menamakannya “Chalifah”: “Titel Chalifah bukan menjadi syarat mutlak dalam pemerintahan Islam, bukan conditio sine quo non. Cuma saja yang menjadi kepala negara yang diberi kekuasaan itu sanggup bertindak bijaksana dan peraturan-peraturan Islam berjalan dengan semestinya dalam susunan kenegaraan baik dalam kaedah maupun dalam praktik.” (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 443).
Yang menjadi syarat untuk menjadi kepala negara Islam adalah, “Agamanya, sifat dan tabiatnya, akhlak dan kecakapannya untuk memegang kekuasaan yang diberikan kepadanya, jadi bukanlah bangsa dan keturunannya ataupun semata-mata inteleknya saja.” (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 448).
Terhadap penguasa negara terpilih, umat mempunyai kewajiban mengikutinya selama ia benar dalam menjalankan kekuasaannya. Bila menyimpang, umat berhak melakukan koreksi atau mengingkari penguasa negara. Dalam masalah ini, Islam menekankan kewajiban musyawarah tentang hak dan kewajiban antara penguasa dan yang dikuasai. Prinsip musyawarah dalam Islam, menurut Natsir, nampaknya tidak selalu identik dengan asas demokrasi.
Hal ini terlihat saat Natsir menanggapi pernyataan Soekarno yang menghendaki agar demokrasi dijadikan alternatif bila timbul persoalan tentang berpisahnya agama dan negara. Natsir mengemukakan bahwa Islam anti-istibdad (despotisme), anti-absolutisme dan kesewenang-wenangan. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa dalam pemerintahan Islam itu semua urusan diserahkan kepada keputusan musyawarah Majelis Syura. Dalam parlemen negara Islam, yang hanya boleh dimusyawarahkan adalah tata cara pelaksanaan hukum Islam (syariat Islam), tetapi bukan dasar pemerintahannya. (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 452).
Natsir mengakui demokrasi itu baik, tetapi sistem kenegaraan Islam tidaklah mengandalkan semua urusannya kepada instrumen demokrasi, sebab demokrasi tidak kosong dari berbagai bahaya yang terkandung di dalamnya. Ia menyatakan bahwa perjalanan demokrasi dari abad ke abad telah memperlihatkan beberapa sifatnya yang baik. Akan tetapi, demokrasi juga melekat pada dirinya pelbagai sifat-sifat berbahaya.
Dengan tegas pula Natsir mengemukakan bahwa Islam adalah suatu pengertian, suatu paham, suatu begrip sendiri, yang mempunyai sifat-sifat sendiri pula. Islam tak usah demokrasi 100%, bukan pula otokrasi 100%, Islam itu … yah Islam. (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 453).
Berbeda dengan Soekarno yang menganggap Turki demokratis pada masa pemerintahan Kemal, Natsir justru berpendapat Turki masa Kemal sebagai diktator. Pada masa pemerintahan Kemal, kata Natsir, tidak ada kemerdekaan pers, kemerdekaan berpikir, dan kebebasan membentuk partai oposisi. Juga, Islam hanya ditoleransi untuk berkembang sejauh menyangkut aspek-aspek tertentu saja, Islam Im Schutzscahft. Tidak ada kemerdekaan bagi Islam di tanah Turki merdeka ….” (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 456–470).
Menolak pandangan Soekarno bahwa caesaro-papisme identik dengan pemerintahan Islam kekhalifahan Usmaniyah terakhir, Natsir dengan tegas menyatakan bahwa lembaga caesaro-papisme bukan sistem kenegaraan Islam. Teori kenegaraan ini hanya terdapat di negara yang menganut asas pemisahan agama dari negara. “Islam tidak kenal kepada ‘Kepala Agama’ seperti Paus atau Patriarch. Islam hanya mengenal satu ‘Kepala Agama’, ialah Muhammad Rasulullah saw. Beliau sudah wafat dan tidak ada gantinya lagi untuk selama-lamanya. ‘Kepala Agama’ yang bernama Muhammad ini telah meninggalkan satu sistem yang bernama Islam, yang harus dijalankan oleh kaum muslimin, dan harus dipelihara dan dijaga supaya dijalankan ‘kepala-kepala keduniaan’ (bergelar raja, chalifah, presiden, atau lain-lain) yang memegang kekuasaan dalam kenegaraan kaum muslimin. Sahabat-sahabat Nabi yang pernah memegang kekuasaan negara sesudah Rasulullah saw. seperti Abu Bakar, Umar, Usman, Ali tidaklah merangkap jadi ‘Kepala Agama’. Mereka itu hanyalah ‘kepala keduniaan’ yang menjadikan pemerintahannya menurut aturan yang telah ditinggalkan oleh ‘Kepala Agama’, yaitu oleh Muhammad Rasulullah yang penghabisan itu, lain tidak!” (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 470).
Dalam artikel penutupnya, Natsir kembali menyangkal pandangan Soekarno yang menyandarkan kebenaran tindakan Kemal pada sejarah. Natsir berpendapat bahwa Kemal sebenarnya telah tersesat, sebab: “… tidak reel tidak berurat berakar dalam kultur rakyat Turki, malah dalam beberapa hal dia mencabut jiwa Turki dari tradisi dan kulturnya (lihat Chalide Edib Hanoum: Turkey Faces West). Ini sudah dibuktikan dalam masa yang akhir-akhir ini, lantaran sesudahnya Kemal meninggal, maka berangsur-angsur kebudayaan Turki lama merebut tempatnya kembali, baik tentang agama ataupun hal-hal di luar agama.” (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 489).
Kemudian, Natsir mengimbau kepada kaum muslimin agar dalam masalah persatuan dan pemisahan agama dan negara ini tidak menjadikan “sejarah menjadi ukuran” kebenaran terakhir. (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 489).
Membaca gagasan-gagasan Soekarno dan Muhammad Natsir di atas memberikan kesan adanya pertentangan gagasan tajam di antara kedua tokoh tersebut. Soekarno, berdasarkan analisis perkembangan sejarah, berkesimpulan bahwa agama dan negara tidak dapat disatukan. Keduanya harus dipisahkan. Sementara, Natsir menilai bahwa agama dan negara dapat dan harus disatukan, sebab Islam tidak seperti agama-agama lainnya, merupakan agama yang serba mencakup (komprehensif). Persoalan kenegaraan pada dasarnya merupakan bagian dari dan diatur Islam.
Sumber: Diadaptasi dari Fenomena Demokrasi: Studi Analisis Perpolitikan Dunia Islam, terjemahan dari Mu’assasah al-Mu’taman, Abdul Ghany bin Muhammad ar-Rahhal
Tulisan ini dikutip secara utuh dari Situs ABIM